Beranda | Artikel
Syarah Mukadimah Tiga Landasan Utama [Bagian 1]
Senin, 19 Mei 2014

فقه

oleh : Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah

Dengan tambahan keterangan oleh : Abu Mushlih Ari Wahyudi ghafarahullah

> Syaikh berkata :

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwasanya wajib atas kita untuk mempelajari empat perkara berikut ini :

Pertama. Ilmu; yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalil.

Kedua. Beramal dengannya.

Ketiga. Berdakwah kepadanya.

Keempat. Bersabar menghadapi gangguan di dalamnya.

Keterangan :

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Di dalam mukadimah buku ini, Syaikh Muhammad at-Tamimi -selanjutnya kami sebut dengan penulis- menyebutkan empat perkara penting yang semestinya dipahami oleh setiap insan.

Keempat hal itu adalah; ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Di dalam menyebutkan keempat hal ini, penulis mengawali dengan doa bagi orang yang membaca atau mendengar dibacakannya buku ini. Yaitu beliau mendoakan agar Allah merahmati kita. Ini merupakan cerminan rasa kasih sayang seorang da’i kepada umat manusia yang dia dakwahi.

Demikianlah semestinya seorang yang mengajak ke jalan Allah, menghiasi dirinya dengan sifat kasih sayang dan kelembutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah panutan terbaik dalam hal ini. Kasih sayang beliau kepada umatnya amat besar dan sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Diantara bentuk kasih sayang beliau adalah menunda doa mustajab yang beliau miliki kelak pada hari kiamat, demi memintakan syafa’at kepada Allah untuk umatnya yang bertauhid dan tidak berbuat syirik.

Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan bahwa ilmu itu dibangun di atas pondasi kasih sayang. Orang-orang yang penyayang maka mereka akan disayangi oleh Dzat Yang Maha Kasih Sayang, yaitu Allah ta’ala. Apalagi seorang muslim satu sama lain diibaratkan suatu bangunan, yang satu sama lain saling memperkuat. Seorang muslim mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai kebaikan bagi dirinya.

Diantara bukti kecintaan itu adalah dengan menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Mengajak kepada kebenaran dan memperingatkan dari kebatilan. Inilah yang disebut dengan nasihat. Nasihat yang harus dilandasi dengan keikhlasan dan kejujuran. Oleh karenanya, apa yang beliau sampaikan di dalam mukadimah buku ini sangat-sangat penting untuk kita perhatikan dan cermati kandungannya.

Keempat perkara yang beliau sampaikan di sini adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupan kita. Kehilangan ilmu, kehilangan amal, tidak ikut berperan dalam dakwah, dan tidak memiliki kesabaran; itu semuanya adalah jalan-jalan menuju kebinasaan dan kesengsaraan hidup, di dunia dan di akhirat.

Diantara sekian banyak ilmu agama, beliau telah menyebutkan kepada kita tiga pokok ilmu yang paling bermanfaat bagi kita, yaitu mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalil. Ketiga ilmu inilah yang akan beliau bahas lebih luas dalam bagian intisari dari buku ini.

Kemudian juga -saudaraku sekalian yang semoga selalu dirahmati Allah- perlu untuk kita ketahui bahwa ilmu yang dimaksud di sini sebagaimana bisa kita tangkap maksudnya, adalah ilmu syari’at, ilmu yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Inilah ilmu yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Ilmu ini pula yang terkadang disebut dengan istilah fiqh fid diin -kepahaman tentang agama- sebagaimana yang disinggung dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sekali lagi perlu kita ingat, bahwa ilmu agama ini harus dilandaskan kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan kepada pemikiran, perasaan, atau hawa nafsu manusia.

Inilah yang telah disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan sebab Kitab ini -al-Qur’an- kaum-kaum, dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengan sebab kitab ini pula -yaitu karena mereka tidak mengamalkannya, pent-” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha : 123)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Allah memberikan jaminan kepada orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya; bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.”

Sementara, mengamalkan ajaran al-Qur’an tanpa mengikuti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kesesatan. Karena hadits adalah wahyu, sebagaimana al-Qur’an juga wahyu. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara dari hawa nafsunya, akan tetapi yang dia ucapkan itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm : 3-4)

Oleh sebab itulah ketaatan kepada rasul pada hakikatnya adalah ketaatan kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul itu, sungguh dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’ : 80)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa untuk bisa mengamalkan al-Qur’an kita harus mempelajari as-Sunnah/hadits. Diantara kitab atau buku hadits yang paling bermanfaat bagi kita adalah Hadits Arba’in, Riyadhush Shalihin, Bulughul Maram, Umdatul Ahkam, Sahih Bukhari, Sahih Muslim, dan lain sebagainya. Alhamdulillah buku-buku ini juga telah banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Kemudian, seorang yang menuntut ilmu pun harus selalu mengingat bahwa menuntut ilmu ini adalah bagian dari ibadah. Sedangkan ibadah harus dikerjakan dengan penuh keikhlasan, bukan karena mencari pujian, ketenaran, atau pamrih keduniaan lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas selaras dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, hendaklah niat dalam mencari ilmu itu adalah ‘dalam rangka menghilangkan kebodohan dari diri sendiri dan juga dari orang lain’. Menuntut ilmu bukanlah sarana untuk mendebat, berbangga-bangga, atau merendahkan orang lain. Sebab ilmu yang sejati adalah yang melahirkan rasa takut kepada Allah dan ketawadhhu’an di dalam diri.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fathir : 28)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Ilmu itu bukanlah digapai -semata-mata- dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakikat ilmu itu adalah rasa takut kepada Allah.”

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menasihatkan, “Seorang yang berilmu tetap dikatakan jahil/bodoh selama belum mengamalkan ilmunya. Apabila dia telah mengamalkannya barulah dia benar-benar menjadi orang alim.”

Kemudian, termasuk di dalam mengamalkan ilmu adalah dengan mendakwahkannya kepada orang lain. Baik melalui lisan, tulisan, atau perbuatan. Dakwah ini merupakan sebaik-baik ucapan dan jalan kemuliaan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan siapakah orang yang lebih baik ucapannya daripada orang yang mengajak menuju Allah dan melakukan amal salih, lalu dia berkata; sesungguhnya aku ini hanyalah bagian dari kaum muslimin.” (QS. Fushshilat : 33)

Bahkan berdakwah mengajak manusia untuk meniti jalan Allah, jalan yang lurus, jalan Islam; ini merupakan jalan hidup pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; inilah jalanku, aku mengajak menuju Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan Maha Suci Allah, sama sekali aku bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf : 108)

Dalam mencari ilmu, mengamalkan ilmu, dan mendakwahkannya maka selalu dibutuhkan kesabaran. Karena sabar di dalam iman laksana kepala bagi anggota badan, tanpa sabar lenyaplah iman. Sabar itu sendiri terdiri dari tiga bagian; sabar dalam ketaatan, sabar menahan diri dari maksiat dan keharaman, serta sabar menghadapi musibah yang terasa menyakitkan. Para ulama kita mengatakan, bahwa ‘dengan bekal sabar dan keyakinan, maka akan digapai predikat keteladanan/pemimpin dalam agama’.

Oleh sebab itu setiap muslim senantiasa membutuhkan kesabaran, dan tidaklah seorang bisa bersabar kecuali dengan pertolongan dan bantuan dari Allah. Sehingga wajar, apabila setiap hari kita memohon kepada Allah hidayah jalan lurus dan mengikrarkan kebutuhan kita yang sangat besar kepada pertolongan Allah atas kita. Tanpa hidayah dari Allah maka seorang hamba tidak akan berhasil mendapatkan apa-apa; apakah itu melaksanakan perintah atau menjauhi larangan. Maka sudah semestinya setiap orang beriman hanya bertawakal dan menggantungkan hatinya kepada Allah semata.

Demikian yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan ini, semoga bermanfaat bagi kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/syarah-mukadimah-tiga-landasan-utama-bagian-1/